Article Detail

RELEVANSI ANALOGI ALEGORI GOA PLATO DALAM PENDIDIKAN

Perkembangan media sosial yang semakin marak dan dengan mudahnya diakses oleh remaja menyebabkan maraknya cyber bullying di kalangan remaja. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang kebenaran. Mereka tidak mengetahui dampak dari menuliskan sesuatu di comment instagram, twitter, tik tok, memposting sesuatu bisa menyakiti orang lain. Menurut Plato hal tersebut dikarenakan mereka belum mampu mencapai idea, intisari segala sesuatu hal yang benar, baik, dan indah. 

Plato dalam alegori goa memberikan perumpamaan ada beberapa orang yang terjebak di dalam goa sejak mereka lahir. Di dalam goa tersebut terdapat api yang dapat memberikan bayangan di dinding goa. Mereka meyakini bahwa itu adalah benda yang nyata dan merupakan kebenaran. Sampai suatu ketika ada salah seorang dari mereka berhasil merangkak naik keluar goa, lalu awalnya melihat bayangan di atas sebuah danau. Sampai akhirnya dia mendapati adanya cahaya yang mampu menerangi benda di sekitarnya. Setelah melihat benda-benda tersebut, sadarlah dia bahwa apa yang diyakininya selama ini tidak benar, bahwa ada hal yang lebih nyata tampak dan itu adalah kebenaran yang sesungguhnya. Setelah itu, dia berusaha untuk memberitahukan hal tersebut kepada teman – temannya saat kembali ke goa. Tetapi apa yang terjadi? Teman - temannya tidak mempercayainya karena mereka menganggap kebenaran adalah bayangan yang mereka lihat di dalam goa. 

Apabila dikaitkan dalam dunia pendidikan dapat diasumsikan bahwa goa adalah keadaan ketidaktahuan, kebodohan, ketidakmengertian akan benar salah, ketidaktahuan akan diri sendiri dan orang lain. Sementara manusia goa adalah siswa. Dalam hal ini siswa yang dimaksud adalah siswa yang tidak tahu tentang segala hal kebaikan dan kebenaran. Bayangan yang terpantul pada dinding goa adalah realita yang didapat dari penginderaan oleh tubuh. Sesuatu realita yang belum pasti karena akan selalu berubah. 

Tangga atau jalan keluar dari goa diibaratkan adalah guru. Peran guru sangat dibutuhkan untuk membimbing dan mengarahkan siswa menuju cahaya. Peran guru tidak hanya mentransfer pengetahuan melainkan membimbing siswa masuk sampai ke pendalaman materi, diendapkan dalam jiwa, sampai akhirnya siswa menemukan kebenaran sejati dalam mata batinnya. Guru juga mengarahkan siswa untuk berani keluar dari goa, menemukan ide - ide baru, kreatif  dan mendampingi siswa merangkak keluar goa yang berarti ada proses yang harus dilalui oleh siswa sebelum menemukan kebenaran. Guru juga harus punya sikap sabar dalam menghadapi siswa yang berbeda dalam fase belajarnya, misalnya seperti manusia goa yang tidak percaya bahwa realita yang sesungguhnya bukan bayangan yang terlihat dalam goa karena mereka sudah meyakini hal itu, sudah nyaman dengan keadaannya sehingga sulit menerima masukan. Oleh karena itu guru perlu mengembangkan pembelajaran dengan metode yang berbeda - beda, menyesuaikan dengan keadaan siswanya. Guru harus selalu percaya bahwa penemuan kebenaran sejati setiap siswa tidak sama waktunya karena belajar sendiri merupakan sebuah proses yang berkelanjutan

Dalam proses merangkak keluar goa terdapat nilai conviction atau perjuangan, pastilah kadang mengalami kegagalan. Peran guru adalah terus memberikan motivasi agar siswa terdorong untuk tidak cepat puas dan bangkit kembali untuk mendapatkan kebenaran sejati. Cahaya adalah kebenaran yang hakiki yang terdapat di dalam jiwa. Bagaimana guru berperan agar siswa dapat sampai pada pemahaman dan memperoleh kebenaran hakiki tersebut. Setelah selesai pembelajaran guru dapat menarik kesimpulan bersama lalu meminta siswa untuk menuliskan refleksi. Sehingga siswa mengalami internalisasi pengetahuan tersebut dan melihat bukan lagi dengan apa yang ditangkap oleh indera akan tetapi melihat sampai ke kedalaman jiwa dan mata batinnya dan itulah kebenaran yang hakiki.

Analogi mengenai alegori goa Plato tersebut masih relevan untuk digunakan dalam pendidikan saat ini. Sebab saat ini arus informasi sangat cepat dan mudah didapat, sedangkan siswa cenderung untuk menerima segala sesuatu tanpa memfilternya terlebih dahulu. Maka siswa perlu memahami, memverifikasi dan mengendapkan segala informasi yang mereka terima kemudian mengolahnya secara internal di dalam diri sehingga sampai pada penemuan kebenaran yang hakiki. Sebab yang mereka lihat secara inderawi itu bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Siswa perlu dikembalikan kepada asal muasal idea yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. 


(Nugraheni Sri Kumalasari)

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment